Monday, May 09, 2005

Jatuh ke dalam Awan

Aku tak akan pernah melupakan kejadian siang itu.

Aku selalu menyukai pemandangan di villa sahabat baikku. Di mana saja aku mengarahkan pandanganku, selalu saja ada hal indah yang dapat dilihat. Pohon-pohon hijau yang beragam jenisnya, pegunungan dan bukit-bukit baik yang dekat maupun di kejauhan, bunga-bunga beraneka ragam, suara aliran sungai yang ada di dekat villa itu, awan-awan yang memeluk sisi gunung.

Kedengarannya seperti lukisan-lukisan pemandangan yang indah, bukan? Sebuah gambaran yang ada di dongeng-dongeng anak-anak?

Tetapi ini bukanlah lukisan. Ini bukanlah dongeng. Pemandangan ini nyata. Udara yang kuhirup siang itu nyata. Angin yang berhembus membuai wajahku itu nyata. Sinar matahari yang menerpa tubuhku siang itu sangatlah nyata. Pemandangan ini serasa seperti...


...surga...


Aku merasa alam memanggilku siang itu, ketika aku sedang termenung di teras depan villa sahabatku. Ia dan kekasihnya sedang terhanyut menyaksikan sebuah film di ruang keluarga. Tanpa berpikir lagi kukenakan sepatu olahragaku dan kuucapkan pamit kepada mereka. Aku segera melangkahkan kakiku dan keluar melalui pintu gerbang kayu yang ada di depan villa itu.

Langkah kakiku membawaku ke bukit yang berhadapan dengan villa sahabatku. Setelah melewati jalan aspal yang mendaki, sampailah aku ke kaki bukit kecil itu. Jalan setapak yang ada di sisi bukit itu membawaku ke pelataran yang ada di puncak bukit itu. Pada hari-hari lain, suara anak-anak bermain layang-layang ataupun sosok muda-mudi dapat ditemukan di pelataran tersebut. Tapi hari itu, hanyalah aku yang dapat ditemukan di puncak bukit itu. Diriku, dan sunyi.

Kunikmati pemandangan surgawi yang ada di depan mataku: gunung, bukit, pepohonan, angkasa. Dapat kulihat villa temanku tak jauh dari bukit itu. Kekasih temanku sedang berdiri di teras. Ia melihatku dan melambai tangannya. Aku melambaikan tanganku dan tersenyum. Sangatlah baik ia dan sahabatku bisa bersama.


...suara burung dan serangga menghiasi kesunyian...


Kuletakkan tubuhku di atas rumput hijau bukit itu. Awalnya aku hanya duduk termenung. Tak lama kucoba rebahkan tubuhku di atas rumput, dengan kedua tanganku menopang kepala. Awan mendung menghiasi langit dihadapanku. Dan hal itupun terjadi, ketika mataku menatap awan...


...aku terjatuh ke dalam awan...


...seperti itulah rasanya. Entah mengapa, daya tarik bumi seperti berbalik. Bumi di atas, dan langit di bawah. Aku merasa seperti setiap saat, daya tarik bumi akan berubah pikiran dan semuanya akan terbalik. Dan akupun kan terjatuh ke dalam awan. Terus terjatuh dan terjatuh, tanpa akhir. Menembus suara, menembus cahaya. Terus terjatuh, menembus awan, menembus atmosfir, melewati bulan, dan berdansa dengan bintang-bintang.


...apakah pada akhirnya aku akan bertemu dengan Sang Pencipta...?


...apakah pada akhirnya Ia akan menjelaskan kepadaku, kemanakah aku harus terjatuh? Apakan Ia akan menunjukkan kepadaku, di mana 'atas' dan di mana 'bawah'? Apakah Ia akan mengatakan kepadaku bahwa tidak ada artinya bagiku mencari 'atas' dan 'bawah'? Apakah Ia bahkan mengerti apakah itu 'atas' dan apakah itu 'bawah'? Ataukah Ia hanya akan tersenyum melihatku terjatuh ke dalam awan?


...adakah akhir dari ini semua, ketidakterhinggaan alam semesta...?


Saat itulah aku merasakan kesunyian yang mendalam. Burung-burung masih berkicau, serangga-serangga masih bernyanyi, tapi hatiku merasakan kesunyian yang amat sangat. Dan saat itulah juga jiwa dan raga ini merasakan sebuah ketakutan yang luar biasa. Seluruh tubuhku terasa lemah.


...Kesunyian dan Ketakutan...


...inikah yang dirasakan Sang Pencipta ketika Ia memutuskan untuk menciptakan Alam Semesta...?


...walaupun hanya untuk menjelaskan 'atas' dan 'bawah'...?


...Mungkin, untuk sesaat pada siang itu ketika kuberada di atas bukit itu, aku mencicipi Kesepian Alam Semesta. Kesepian Sang Pencipta...


Kakiku masih terasa lemas ketika aku berusaha berdiri. Tidak lebih dari satu dua menit telah berlalu semenjak kurebahkan tubuhku di puncak bukit itu. Tetapi semuanya terasa nyata. Sepertinya satu dua abad telah berlalu sejak kutidurkan tubuhku di atas bukit. Tidak kuat diriku merasakan semua itu. Tidak pantaslah aku, seorang manusia kecil ini, merasakan kemegahan Alam Semesta ini. Aku hanyalah setitik pasir, tidaklah bermakna.


...temani Aku dalam kesepian ini...


Tapi, walau setitik debu, aku ada. Aku nyata. Aku tidak bisa menyangkal hal itu. Maka kucoba untuk duduk kembali, menikmati pemandangan ada. Kucoba tatap langit dan awan yang berdansa dengan angin. Kucoba terima apa adanya. Mungkin aku kecil, tidak berarti, tapi aku ada. Akulah alam semesta, walau kecil.

Dan alampun menemaniku dalam renungan. Hanya sesaat, tapi ia ada bersamaku. Hanya sesaat, karena ia berbahasa padaku. Awan akan segera mencurahkan air matanya, kembalilah kau ke tempatmu, ia berkata. Burung-burung berhenti berkicau, serangga-serangga berhenti menyanyi. Mencari tempat berteduh.

Kukumpulkan tenaga dan kuberdiri. Memandang untuk terakhir kalinya lukisan alam dari atas bukit itu, kulangkahkanku kakiku kembali menuju villa sahabat baikku.

...dan langitpun berair mata tak lama setelah kukembali...

0 Comments:

Post a Comment

<< Home