Numpang Lewat...

Monday, May 09, 2005

Jatuh ke dalam Awan

Aku tak akan pernah melupakan kejadian siang itu.

Aku selalu menyukai pemandangan di villa sahabat baikku. Di mana saja aku mengarahkan pandanganku, selalu saja ada hal indah yang dapat dilihat. Pohon-pohon hijau yang beragam jenisnya, pegunungan dan bukit-bukit baik yang dekat maupun di kejauhan, bunga-bunga beraneka ragam, suara aliran sungai yang ada di dekat villa itu, awan-awan yang memeluk sisi gunung.

Kedengarannya seperti lukisan-lukisan pemandangan yang indah, bukan? Sebuah gambaran yang ada di dongeng-dongeng anak-anak?

Tetapi ini bukanlah lukisan. Ini bukanlah dongeng. Pemandangan ini nyata. Udara yang kuhirup siang itu nyata. Angin yang berhembus membuai wajahku itu nyata. Sinar matahari yang menerpa tubuhku siang itu sangatlah nyata. Pemandangan ini serasa seperti...


...surga...


Aku merasa alam memanggilku siang itu, ketika aku sedang termenung di teras depan villa sahabatku. Ia dan kekasihnya sedang terhanyut menyaksikan sebuah film di ruang keluarga. Tanpa berpikir lagi kukenakan sepatu olahragaku dan kuucapkan pamit kepada mereka. Aku segera melangkahkan kakiku dan keluar melalui pintu gerbang kayu yang ada di depan villa itu.

Langkah kakiku membawaku ke bukit yang berhadapan dengan villa sahabatku. Setelah melewati jalan aspal yang mendaki, sampailah aku ke kaki bukit kecil itu. Jalan setapak yang ada di sisi bukit itu membawaku ke pelataran yang ada di puncak bukit itu. Pada hari-hari lain, suara anak-anak bermain layang-layang ataupun sosok muda-mudi dapat ditemukan di pelataran tersebut. Tapi hari itu, hanyalah aku yang dapat ditemukan di puncak bukit itu. Diriku, dan sunyi.

Kunikmati pemandangan surgawi yang ada di depan mataku: gunung, bukit, pepohonan, angkasa. Dapat kulihat villa temanku tak jauh dari bukit itu. Kekasih temanku sedang berdiri di teras. Ia melihatku dan melambai tangannya. Aku melambaikan tanganku dan tersenyum. Sangatlah baik ia dan sahabatku bisa bersama.


...suara burung dan serangga menghiasi kesunyian...


Kuletakkan tubuhku di atas rumput hijau bukit itu. Awalnya aku hanya duduk termenung. Tak lama kucoba rebahkan tubuhku di atas rumput, dengan kedua tanganku menopang kepala. Awan mendung menghiasi langit dihadapanku. Dan hal itupun terjadi, ketika mataku menatap awan...


...aku terjatuh ke dalam awan...


...seperti itulah rasanya. Entah mengapa, daya tarik bumi seperti berbalik. Bumi di atas, dan langit di bawah. Aku merasa seperti setiap saat, daya tarik bumi akan berubah pikiran dan semuanya akan terbalik. Dan akupun kan terjatuh ke dalam awan. Terus terjatuh dan terjatuh, tanpa akhir. Menembus suara, menembus cahaya. Terus terjatuh, menembus awan, menembus atmosfir, melewati bulan, dan berdansa dengan bintang-bintang.


...apakah pada akhirnya aku akan bertemu dengan Sang Pencipta...?


...apakah pada akhirnya Ia akan menjelaskan kepadaku, kemanakah aku harus terjatuh? Apakan Ia akan menunjukkan kepadaku, di mana 'atas' dan di mana 'bawah'? Apakah Ia akan mengatakan kepadaku bahwa tidak ada artinya bagiku mencari 'atas' dan 'bawah'? Apakah Ia bahkan mengerti apakah itu 'atas' dan apakah itu 'bawah'? Ataukah Ia hanya akan tersenyum melihatku terjatuh ke dalam awan?


...adakah akhir dari ini semua, ketidakterhinggaan alam semesta...?


Saat itulah aku merasakan kesunyian yang mendalam. Burung-burung masih berkicau, serangga-serangga masih bernyanyi, tapi hatiku merasakan kesunyian yang amat sangat. Dan saat itulah juga jiwa dan raga ini merasakan sebuah ketakutan yang luar biasa. Seluruh tubuhku terasa lemah.


...Kesunyian dan Ketakutan...


...inikah yang dirasakan Sang Pencipta ketika Ia memutuskan untuk menciptakan Alam Semesta...?


...walaupun hanya untuk menjelaskan 'atas' dan 'bawah'...?


...Mungkin, untuk sesaat pada siang itu ketika kuberada di atas bukit itu, aku mencicipi Kesepian Alam Semesta. Kesepian Sang Pencipta...


Kakiku masih terasa lemas ketika aku berusaha berdiri. Tidak lebih dari satu dua menit telah berlalu semenjak kurebahkan tubuhku di puncak bukit itu. Tetapi semuanya terasa nyata. Sepertinya satu dua abad telah berlalu sejak kutidurkan tubuhku di atas bukit. Tidak kuat diriku merasakan semua itu. Tidak pantaslah aku, seorang manusia kecil ini, merasakan kemegahan Alam Semesta ini. Aku hanyalah setitik pasir, tidaklah bermakna.


...temani Aku dalam kesepian ini...


Tapi, walau setitik debu, aku ada. Aku nyata. Aku tidak bisa menyangkal hal itu. Maka kucoba untuk duduk kembali, menikmati pemandangan ada. Kucoba tatap langit dan awan yang berdansa dengan angin. Kucoba terima apa adanya. Mungkin aku kecil, tidak berarti, tapi aku ada. Akulah alam semesta, walau kecil.

Dan alampun menemaniku dalam renungan. Hanya sesaat, tapi ia ada bersamaku. Hanya sesaat, karena ia berbahasa padaku. Awan akan segera mencurahkan air matanya, kembalilah kau ke tempatmu, ia berkata. Burung-burung berhenti berkicau, serangga-serangga berhenti menyanyi. Mencari tempat berteduh.

Kukumpulkan tenaga dan kuberdiri. Memandang untuk terakhir kalinya lukisan alam dari atas bukit itu, kulangkahkanku kakiku kembali menuju villa sahabat baikku.

...dan langitpun berair mata tak lama setelah kukembali...

Thursday, April 14, 2005

Sadar

Pernahkah kalian merasakan hang-over? Tapi bukan yang biasanya kalian rasain setelah baru aja mabok minum-minum (yes, been there done that) tapi yang dirasakan setelah kalian baru di-'pukul' ma realita hidup? Dan yang lebih parahnya, kalau dipikir lebih jauh, pukulan itu datang dari diri diri kalian sendiri. Pukulan itu adalah akibat dari ketololan diri kalian sendiri. Ya, aku baru saja mengalami hal tersebut. Dan rasanya tidak enak.

Sebenarnya menurut gwe, gak ada yang bisa menyakiti diri elo selain diri elo sendiri. Terkadang, kita terlalu menaruh kesejahteraan hidup kita di luar diri kita sendiri, entah itu pada orang lain atau pada hal-hal lain. Entah itu pada teman, atau barang-barang yang kita miliki. Entah itu pada keluarga bahkan, ataupun pada binatang peliharaan kita. Menjadi bahagia, seperti banyak orang bijak telah katakan, ada di tangan kita sendiri. Sesuatu yang harus aku pelajari lebih dalam. Sebab tampaknya, kebahagiaanku masih tergantung juga pada hal-hal di luar diriku sendiri.

Heh, hal ini dah sering kuucapkan berkali-kali, baik pada diriku sendiri, maupun kepada orang lain. Tapi tetap saja, bukan hal yang mudah untuk dilaksanakan. Tampaknya sederhana, memang, tapi kalau menjadi sederhana dalam pelaksanaan, rasanya dunia ini akan mendadak memiliki banyak orang suci. Ha ha ha, sebenarnya ini bukanlah hal yang buruk sih, kita masih butuh banyak orang suci di dunia ini.

Aku masih harus belajar untuk bisa menangkap hal-hal di luar diriku, memilah-milah mana yang baik dan buruk, dan untuk tidak membiarkan hal-hal luar ini membentuk siapa diriku tanpa persetujuan hatiku. Aku masih harus belajar untuk acuh terhadap hal-hal buruk yang diucapkan orang lain tentang diriku, terutama yang tidak benar. Karena, toh mereka tidak benar-benar mengenal diriku yang sebenarnya. Mereka tidak menjalani hidupku, mereka tidak hidup dalam lingkunganku, mereka tidak memiliki keluarga seperti keluargaku, dan mereka tidak hidup di dalam tubuhku. Siapapun mereka itu, baik keluarga maupun sahabat-sahabat terdekat, mereka tidak bisa menilai siapa diriku. Saya rasa hanya Yang Maha Kuasa yang tahu benar siapa diriku, bahkan lebih baik daripada diriku mengenal diriku sendiri (kecuali kalau aku bisa benar-benar Sadar, dan mungkin pada saat itulah aku bisa benar-benar melihat siapa diriku ini). Hanya Yang Maha Kuasa yang bisa mengadiliku. Tidaklah berarti bahwa saya tidak menghargai mereka. Bukan hak saya untuk menentukan apa yang ada di dalam pikiran mereka. Tapi adalah hak dan kewajiban saya untuk menentukan sikap saya terhadap hal-hal ini. Inilah letak kekuasaan setiap orang terhadap dirinya sendiri.

Apalah pula arti prestasi? "Luar biasa pintar kamu, nak! Nilai ulanganmu 100!", atau "Selamat, anda lulus dengen predikat cum laude!", atau bahkan "Selamat, anda berhasil menyelesaikan proyek ini!" Kita datang di dunia ini hanyalah diberi sebuah tubuh, bahkan pada saat meninggal tubuh ini tertinggal di dunia ini. Apalah artinya hal-hal tersebut, bila kita benar-benar pikirkan? Pernah ada saat di mana hal ini adalah segalanya untukku. Ada saatnya dimana aku membiarkan hal-hal ini membentuk diriku. Ada saatnya dimana hal ini menentukan siapa aku. Tapi, pada akhirnya, aku sedikit tersadarkan bahwa hal-hal tersebut tidak bisa mendefinisikan siapa diriku sebenarnya. Mereka hanyalah hasil, produk, residu dari tindakan-tindakanku, dan bukanlah definisi diriku. Mereka hanyalah kata-kata orang, tulisan di atas sebuah kertas (kertas ulangan, kertas ijazah, kertas kontrak), apalah artinya hal-hal ini? Kata-kata orang hanyalah tinggal di kenangan, di masa lalu, kertas-kertas tersebut bisa tertiup dibawa angin, terbakar oleh api dan menjadi debu, tapi hanyalah jiwa yang kekal. Tetapi, jujur saja, aku katakan bahwa aku hanya sedikit tersadarkan karena hal-hal ini juga tetap bisa mempengaruhi diriku.

Akan selalu ada orang-orang yang berusaha memaksakan kehendak mereka terhadap orang lain, yang berpikir bahwa pendapat mereka, kata-kata mereka, tindakan mereka, bisa mempengaruhi atau bahkan merubah orang lain. Mereka mungkin benar, bahwa mereka bisa mempengaruhi atau bahkan merubah orang lain. Tapi mereka tidak akan pernah menemukan kepuasan batin sejati dalam usaha mereka ini. Dan bagi mereka yang membiarkan dirinya dipengaruhi oleh orang lain (seperti diriku) saya cuma bisa berharap mereka bisa terlepas dari belenggu ini.

Memang betul bahwa no man's an island, kita tidak hidup di dunia ini sendirian. Tapi Yang Maha Kuasa pasti memiliki tujuan tersendiri kenapa kita masing-masing dijadikan individual yang memiliki jiwa yang berbeda di dalam tubuh yang berbeda dan bukanlah suatu kesatuan jiwa dan raga yang besar. Apalah pula arti hidup ini tanpa variasi, bukan?

Jadi, pada akhirnya sebenarnya saya hanya ingin mengatakan, kepada siapa saja yang berpikir bahwa mereka dapat mempengaruhi diri saya, mereka mungkin bisa dan dari waktu ke waktu akan sesekali atau dua kali (atau bahkan lebih lagi) berhasil melakukan hal ini. Tapi kalian hanyalah pecundang yang menghabiskan waktu kalian untuk sesuatu yang tak berguna. Just fuckin' mind your own business. You got your own life so stay the fuck out of mine unless the invitations come from me and you decide to accept it.

Ha ha ha, maaf, tidak ada orang yang sempurna, termasuk saya. Can't help myself to utter those satisfying words in the paragraph above.

Wednesday, March 30, 2005

Hantu Rumah Sakit

(read the English version of this story at http://omnioblivion.blogspot.com, a little promotion wouldn't hurt, right? Ha ha ha)

"Tau gak, Ar, mami liat hantu lagi kemarin malam di rumah sakit Ciptomangunkusumo."
"Oh ya? Gimana?"
"Mami kan lagi ngantri di kasir, sambil nunggu mami lagi liatin bayangan di kaca. Trus, mami perhatiin di bayangan itu ada perempuan, anggun banget."
"Trus?"
"Trus mami liat ke arah di mana perempuan itu harusnya ada, tapi dia gak ada. Perempuan itu adanya cuma di bayangan di kaca doang. Mami muter kepala ke kiri ke kanan, bandingin bayangan di kaca dengan ruangan itu, kali-kali aja sudut pandang mami salah. Kali-kali aja perempuan itu memang ada."
"Tapi, gak ada?"
"Nggak, perempuan itu gak ada di ruangan itu."
"Yakin? Kali-kali aja perempuan itu ada di ruangan di sisi lain kacanya."
"Mami dah ngintip koq ke ruangan yang ada di belakang kaca."
"Dan dia gak ada di situ juga?"
"Nggak. Sama sekali nggak."
"Wow."
"Susah memang nih, kalo punya bakat kayak gini, mau usaha kayak apa juga untuk nggak lihat, tetap aja ngelihat hal-hal kayak gitu."
"Yah, namanya juga bakat mam. Gak bisa dibuang begitu aja."
"Iya sih. Tapi kayaknya perempuan itu gak bermaksud jahat. Mami gak berasa ada hawa jahat."
"Dia lihatin mami gak?"
"Gak tuh, kepalanya lagi nengok ke arah lain."
"Iya, kata temen mami memang kayaknya mereka selalu kayak gitu, gak pernah liat langsung ke kita."
"Iya, bu E bilang gitu khan ke kita dulu?"
"Yep. Oh ya, cantik gak mam?"
"Ha ha ha, gak tau juga yah. Dia khan lagi nengok ke arah lain, jadi mami gak bisa lihat mukanya. Tapi, kayaknya sih iya."
"Ha ha ha, gak penting banget yah. Kalo liat lagi malem ini, titip salam deh."
"Ha ha ha, oke deh."

Tuesday, March 29, 2005

Ngumpul-ngumpul di Hari Selasa

Hari-hari belakangan ini penuh dengan banyak rasa bosan. Nunggu proyek mulai di kantor bisa bener-bener bikin orang desperate. Biasa lah, nunggu kontrak dengan klien bener-bener rampung. Yah, untuk sementara waktu ini gwe bengong doang di kantor jadinya. Akses internet yang lumayan cepat juga dah gak bisa ngebantu lagi buat menghilangkan rasa bosan. Memang sih, ada nikmatnya juga makan gaji buta, tapi tetep aja kadang-kadang masih ada rasa bersalah dan rasa gak ada guna jadi orang.

Situasi di rumah juga gak terlalu baik. Pembantu yang dah kerja di tempat kita setelah lebih dari...
hmmm...
berapa tahun yah?
Gwe gak hitung, tapi yang pasti dia udah ma kita sejak nyokap gwe blon nikah. Dah lama bow. Ya, nyokap kemarin malem bawa dia ke dokter, dan ternyata dia harus dirumahsakitkan hari ini. Kemungkinan besar ada kanker di rahimnya. Yah, mau gak mau gwe juga kebawa suasana. Gwe cuma berharap yang terbaik aja. Kabar terakhir sih ternyata tumor jinak, tapi itu blon bener-bener di-confirm.

Gwe sih dah memperkirakan kalo siang ini gwe bakalan makan sendirian. Abis, kebanyakan orang demennya makan di kantor, mesen lewat office boy ato office girl. Waduh, gwe gak bisa deh kayak gitu, di dalam kantor mulu seharian. Paling gak gwe turun ke bawah, ganti suasana dikit. Walaupun juga dah mulai bosen dengan semua kantin yang ada di bawah (foodcourt keq ato maksus alias makan susah alias makan di warung-warung luar) tapi paling tidak gak di dalam office mulu.

Untung si Ndut nelpon pas jam 11-an gitu. Dia temen gwe waktu gwe masih kuliah S2 di (nama institusi pembelajaran di-sensor demi kerahasiaan penulis dan temannya, walaupun yang baca blog ini palingan juga dah tau siapa gwe dan temen gwe ini, yah namanya juga usaha). Kayaknya dia lagi suntuk juga di kantornya sekarang. Dia ngajakin ketemuan di PS. Lumayan deket sih dari kantor gwe, bisa naek TJ alias TransJakarta alias busway. Tadinya pengen minta dijemput, tapi gwe gak mau manja deh. Sekalian nyobain, soalnya gwe blon pernah ke PS waktu makan siang naek busway. Naek busway-nya sih pernah, tapi buat ke PS siang-siang gini blon pernah. Itung-itung eksperimen dah.

Untung dah pernah diajarin temen gwe. Jadinya gwe tau gwe tinggal turun di halte Bundaran Senayan (depan Ratu Plaza, deket patung 'tukang pizza'), masuk ke Ratu Plaza, trus ke belakangnya Ratu Plaza dan di situ ada pintu buat nembus ke kompleks Playan. Ketemuan ma si Ndut, dia dah nunggu di depan Wendy's. Trus dari situ ke foodcourt dan kita makan siang.

Si Ndut ternyata nunggu satu orang teman lagi. Ceweq yang satu ini temennya si Ndut dari waktu dia kuliah S1 di (lihat alasan di atas yah). Orangnya asik juga. Kita cerita-cerita masalah kondisi kantor. Si Ndut lagi gak happy dengan situasi kerjanya. Gwe juga. Dia dengan target yang agak-agak tidak manusiawi, gwe dengan situasi gwe yang masih floating. Si Ndut juga cerita sih kalo pacarnya juga lagi gak happy kerja di (hmmm, alasannya kurang lebih sama juga dengan yang di atas).

Setelah itu kita keliling-keliling sebentar. Seperti biasa, kita bercanda-canda (si Ndut dengan tidak sopannya nanya apakah isi orang-orang di kantor gwe cina semua, gwe bilang sih hampir 50-50 lah, kayaknya masih sedikit lebih banyakan tiko-nya he he he, dah biasa gwe becanda gak sopan kayak gitu ma dia, dasar gendeng). Oh, btw gwe cina. Anyways, si Ibu tadi pengen nanya status buku yang dia pesen di QB ("Bete, ternyata di Kinokuniya masih lebih murah, dan ada satu toko buku lagi yang jual lebih murah lagi. Tapi apa boleh buat, udah pesan dan bayar setengah."). Trus dari situ kita ke Kinokuniya.

Gwe inget banget si Ndut nanya ada lowongan ato gak di kantor gwe. Gwe bilang sih kayaknya dia gak cocok ma jenis kerjaan kantor gwe. Dia khan lebih seneng kelilingan, ketemu orang, ngobrol. Bahasa kerennya sih, dia seneng bersosialisasi. Bahasa kasarnya yah...dia seneng ngeluyur. Tapi, he's good at that, and it would be a waste if he doesn't use that. Gwe bilang ma dia, dia cocok kerjaan yang berkaitan dengan public relation. Si Ibu tadi juga mengiyakan.

Sempet nongkrong bentar di Coffee Bean. Toh, gwe juga blon dicar-cari banget di kantor. Selama proyek blon mulai, gwe rasa gak ada yang butuhin gwe banget. Makanya gwe santai-santai aja. Si Ndut juga males balik ke kantor, ketemu bos-nya dia (moto si bos: "Something good is going to happen to you today!", gwe rasa sih si Ndut percaya kalo sesuatu yang terbaik yang bisa terjadi dalam hari-hari kerjanya adalah kalo si bos gak dateng ke kantor dan dia gak usah denger kata-kata mutiara di atas). Ternyata, si Ibu demen juga bikin blog dan baca blog orang, sehingga gwe langsung aja promosi blog gwe (yang satunya, yang bahasa Inggris). Dia juga langsung promosiin alamat blog-nya. Seneng juga ketemu orang yang hobinya sama ma gwe, yaitu baca dan nulis. Ternyata ibu ini juga kenal beberapa temen gwe waktu gwe kuliah S1. Ayo, mari kita sama-sama ngomong: "Dunia ini kecil yah!"

Sekarang, gwe dah balik di kantor. Dan memang benar gak ada yang nyari gwe. Tau gini mungkin gwe nongkrong ma Ndut di PS lebih lama lagi. Tapi yah, karyawan baru jangan terlalu bertingkah lah, tidak baik (Yeah, right!). Pikir punya pikir, memang sih yang namanya kerja di perusahaan itu gak gampang. Efek domino lah, politik kantor lah, masalah ganti rugi lah kalo keluar sebelum waktunya, masalah gak puas dengan kerjaan lah. Hidup kantoran itu emang gak gampang. Atau mungkin lebih tepatnya, hidup kantoran bukan hidup yang gwe inginkan. Gwe merasa emang kayaknya yang gwe cari gak ada di sini. Baru 2 bulan sih gwe di sini, dan mungkin nanti-nanti lagu gwe bakalan beda. Kita liat ajah.

Gampang aja gwe ngomong "Tidak!" tapi, gwe blon punya pilihan lain. Atau mungkin ada, tapi blon berani ngambil langkah. Yah, moga-moga Siapapun yang Ada Di Atas Sana (jangan mempertanyakan masalah apakah Dia Ada Di Atas Sana ato Di Dalam Hati Kita, pokoknya lo pada yang baca ngerti maksud gwe) bisa nunjukin jalan buat gwe. Dulu sih udah Dia nunjukin jalan, hasilnya gwe ditendang dari kantor lama gwe. Dan gwe gak nyesel ngambil sekolah untuk gelar S2 gwe. Paling tidak gwe nemu temen-temen baru, orang-orang yang baik dan kompak (salah satunya si Ndut ini). Tapi tetep aja, masih ada banyak hal yang gwe pertanyakan. Dan pertemuan gwe dengan si Ndut dan temennya siang ini bikin gwe mikir lagi apakah yang gwe cari ada di sini. Satu-satunya hal yang gwe bisa lakukan adalah bersabar dulu sampe proyek mulai. Mungkin nanti kondisinya berubah. Walaupun sih sebenarnya gwe tau, pencarian hidup gwe jauh lebih besar dari sekedar nyari kerjaan kantor yang tepat buat gwe. Ada satu issue abstrak yang masih mengganggu gwe. Gwe masih blon bisa membahasakannya dengan sekedar kata-kata. Abstrak banget pokoknya. Dan ini dah sering mengganggu gwe.

Gwe bukan tipe orang yang percaya dengan yang namanya 'kebetulan'. Gwe merasa kalo segala sesuatu terjadi dengan alasan tertentu. Gwe yakin pertemuan gwe dengan si Ndut siang ini bukanlah suatu kebetulan. Dan pertemuan ini bikin gwe mikir lagi. Entah apa nanti kesimpulan yang gwe dapatkan, kita lihat saja sejalan dengan waktu.

Tapi yang pasti, gwe berterima kasih berat buat si Ndut. Sebab kalau tidak, today's gonna be just another boring, colourless, lifeless, working day. Dan gwe gak sabar nunggu sore ini, soalnya gwe bakalan nge-band bareng beberapa temen kantor gwe. Yep, gwe vokalis dan IYA GWE TAU SUARA GWE GAK BAGUS-BAGUS BANGET! DIEM LO PADA!! Tapi paling gak gwe akan berusaha menikmati segala hiburan yang gwe dapatkan. Paling gak buat bunuh kebosanan gwe.

p.s. : Gila yah, belakangan mendung melulu dan gelap banget lagi.
Dah deh, segitu dulu buat hari ini.

Sunday, March 20, 2005

Sebuah Jurnal di Hari Senin

Ketika saya hendak mulai menulis jurnal ini, ada sedikit perasaan kaku. Rasanya ragu untuk memulai, entah kenapa tangan ini agak susah untuk memulai mengetik. Setelah dipikir lebih lanjut, ternyata keraguan ini muncul dari ketidakbiasaan saya menulis dalam bahasa Indonesia. Selama ini, saya membiasakan diri saya menulis dalam bahasa Inggris, dengan tujuan melatih kemampuan mengekspresikan diri dalam tulisan bahasa Inggris. Jarang sekali saya memuat tulisan di blog dengan bahasa Indonesia. Mungkin ini yang kedua (atau mungkin yang ketiga, saya tidak tahu pasti).

Tetapi, setelah menulis satu paragraf di atas, saya rasa jurnal hari Senin ini bisa saya selesaikan dengan cukup baik (rasa percaya diri yang sedikit sembuh setelah berhasil menyelesaikan paragraf di atas). Tidak salah juga saya mengambil keputusan untuk membuat sebuah blog dalam bahasa Indonesia.

Dari mana kiranya jurnal ini bisa saya mulai?

Dorongan untuk membuat jurnal ini sebenarnya berasal dari rasa bosan yang sudah cukup menumpuk karena kurangnya tugas yang diberikan di kantor (sebenarnya ini sebuah pengungkapan halus dari kondisi yang bisa disederhanakan dalam dua kata: pengangguran terselubung). Jadi, untuk mengurangi sedikit rasa bosan (yang dibumbui dengan sedikit rasa bersalah karena tidak dalam kondisi sesibuk orang-orang lain di sekitar saya), dan membuat diri saya merasa sedikit lebih berguna, maka ditulislah jurnal ini.

Kedua orang tua sedang berada di luar kota. Jadi, Senin pagi ini dimulai dengan suasana yang sedikit tenang dari biasanya (biasanya pagi hari diwarnai dengan suara ibu yang sudah sibuk mengeluh mengenai banyak hal, entah barangnya yang hilang tak tahu di mana, atau kondisi politik negara maupun kantor di mana ia bekerja). Saya sendiri sebenarnya lebih senang dengan suasana pagi yang sunyi dan senyap. Tapi apa boleh buat, saya bukan satu-satunya orang yang ada di rumah tersebut dan mungkin harus lebih toleransi (apalagi yang dibicarakan di sini adalah ibu, dan dia punya wewenang lebih tinggi di rumah daripada saya). Jadi, yah, Senin pagi ini sedikit lebih tenang. Kenapa hanya sedikit? Jangan lupa kalau saya pun punya pembantu yang cerewetnya saingan dengan ibu.

Bukanlah hal yang baik untuk terus menongkrongi monitor komputer, oleh sebab itu saya sering mengalihkan pandangan mata ke arah yang lain (biasanya sih ke nona-nona cantik yang suka berlalu-lalang di dalam kantor, mereka sangatlah menyegarkan) tetapi juga sering ke arah jendela. Langit di luar sangat gelap. Mungkin akan turun hujan tak lama lagi. Semoga hujan itu tidak turun ketika saya sedang dalam perjalanan pulang nanti sore. Nggak lucu kalau gitu mah.

Salah satu network di kantor hari ini rusak. Jadi, daerah cubicle saya yang biasanya sepi menjadi penuh oleh para 'pengungsian', orang-orang yang biasanya duduk di tempat yang sekarang networknya sedang rusak. Mereka mengungsikan laptop-laptopnya ke daerah di sekitar saya. Jadi yah, walaupun hari ini tidak sibuk, kekisruhan yang terjadi oleh karena network rusak dan orang-orang 'mengungsi' membuat saya merasa sibuk juga. Walaupun sebenarnya sih tidak.

Tapi, selain itu, tidak ada yang begitu menarik hari ini. Belum ada kabar pasti mengenai kapan proyek di mana saya terlibat akan mulai. Perasaan tidak dibutuhkan semakin kuat. Begitu pula perasaan tidak berguna. Banyak sih yang bilang pada saya untuk menikmati masa-masa pengangguran tidak jelas seperti ini. Karena ketika proyek sudah mulai, tidak akan ada banyak waktu luang seperti sekarang ini. Yah, saya tahu itu, tetapi saya sudah terbiasa dengan kondisi di mana saya memiliki lebih banyak waktu luang yang tidak saya butuhkan. Kalau bisa dijual, mungkin sudah dari kapan-kapan saya jual kelebihan waktu luang tersebut.

Ah, tidak ada gunanya mengeluh lebih lanjut. Hari Senin ini belumlah selesai. Mungkin saja dalam sisa waktu 2 jam kemudian, supervisor saya akan memberikan kerjaan baru. Yah, mungkin itu artinya habislah waktu luang untuk sementara waktu. Tapi, paling tidak, ada sedikit perubahan suasana.

Ya sudah, mungkin hanya segini saja jurnal di hari Senin ini. Sebuah hari yang tidak terlalu berbeda dengan hari-hari sebelumnya.

Monday, March 14, 2005

Ceramah Teologi

Sebuah artikel filsafat menarik yang ditulis atas perenungan terhadap bencana tsunami di Aceh. Patut untuk dibaca, menurut pendapat saya. Mungkin karena saya merasa pola pikir saya dan si penulis cocok. Apapun alasannya, artikel ini ditulis dengan sangat baik. Bila pembaca ada waktu, cobalah membacanya hingga selesai.


-------------------------------------------------------------
Membincang keadilan Tuhan (Theodicy) dalam bencana tsunami di
Aceh
Oleh: Haidar Bagir*

Di antara segala kepiluan, kebalauan, dan kepanikan melakukan apa saja yang mungkin dalam menghadapi katastrofi dahsyat, sebagaimana gempa tsunami yang terjadi di Aceh baru-baru ini, biasanya selalu mendekam pertanyaan besar : apa maunya Tuhan dengan semua ini? Ia bisa melintas secara otomatis dan tidak disengaja, atau bisa juga merupakan kebutuhan filosofis yang sedikit atau banyak lebih terelaborasi, tapi ia sulit ditekan – dan sesungguhnya memang tak bisa ditekan – khususnya bagi pikiran-pikiran yang
memujikan rasionalisme. Maka, melewati kejadian-kejadian besar seperti ini, chaos yang
terjadi biasanya diikuti dengan semacam aktivitas soul searching, yang bisa membawa kita kepada keimanan yang lebih kuat, atau justru krisis teologis yang
mengguncang.

Pertanyaan yang menyembul tanpa bisa
ditahan-tahan itu adalah : Kenapa Tuhan yang
Mahapengasih dan Penyayang, yang Mahakuasa (yang
kekuasaannya tidak terbatas), membiarkan – kalau tak
malah menciptakan – keburukan semacam gempa Tsunami
yang menimbulkan korban jiwa, benda, dan penderitaan
yang mahadahsyat seperti ini? Apa maunya Dia? Atau,
jangan-jangan Tuhan tidak sepenyayang dan sepengasih
yang kita kira? Bahkan sesungguhnya dia mahapemarah?

Belum lagi pertanyaan : kenapa orang-orang Aceh yang –
setidaknya banyak di antara mereka – yang tidak
berdosa – dan – setidaknya relatif lebih – kuat
beragama, malah sudah berkepanjangan ditimpa derita
perang saudara? Kenapa tidak di Jakarta, tempat banyak
orang berfoya-foya, melanggar perintahnya, dan tempat
banyak koruptor kakap menjarah hak orang lain dengan
tidak semena-mena? Di mana keadilan Tuhan, kalau
memang Tuhan seperti yang dikenal oleh orang-orang
beragama itu memang ada?

Inilah sesungguhnya suatu isu yang telah mengisi buku-buku teologi, nyaris sejak pertama kali agama dikenal manusia. Atau, setidaknya, sejak orang mengenal filsafat. Dari zaman pemikir Yunani “pelbegu” seperti Plato, bahkan jauh sebelumnya, hingga
pemikir-pemikir Kristen, Yahudi, Islam, atau dari
kelompok pemikir mana pun, masalah ini telah menjadi
salah satu isu penting dalam filsafat dan teologi.
Nyaris tak ada satu pun buku yang terkait dengan
teologi yang tak menjadikan isu ini sebagai salah satu
bagian pembahasannya. Tapi, kapan saja katastrofi
dahsyat terjadi, isu ini kembali mencuat. Karena,
betapa pun banyak penjelasan diupayakan, tak bisa
semua orang dipuaskan, atau bahkan tak ada
pikiran-pikiran filosofis yang bisa sepenuhnya
dipuaskan. Tentu saja ada alternatif penjelasan yang
mungkin bisa diterima, meski tak sepenuhnya filosofis,
melainkan eksplikatif. Dalam disiplin pemikiran,
filsafat memang tak mulai dari asumsi-asumsi yang
sudah terlebih dahulu diyakini kebenarannya dan,
berangkat dari situ, menawarkan penjelasan-penjelasan
logis, sebagaimana yang dilakukan teologi (dialektis).

Di antara penjelasan teologis yang biasa ditawarkan
adalah, bahwa bencana seperti ini sesungguhnya adalah
peringatan dan hukuman Tuhan bagi kebaikan – harapan
akan peningkatan kualitas -- manusia sendiri. Yakni
manusia yang masih hidup, sementara yang menjadi
korban dipercayai akan diperlakukan dengan adil oleh
Tuhan di alam yang lain. Apalagi, sebagai bagian dari
paket penjelasan ini, bukankah penilaian akan keadilan
Tuhan tak bisa berhenti hanya pada kehidupan dunia
ini? Bukankah perhitungan baru selesai di akhirat
nanti? Masih dalam rangka penjelasan teologis seperti
ini, ada yang bahkan berusaha menjelaskan katastrofi –
terkadang sambil mendukungnya dengan bukti-bukti
kesejarahan – sebagai pendahulu bagi sebuah kelahiran
baru yang lebih menjanjikan. Kenapa di Aceh? Tentu ada
saja yang menganggapnya sebagai peringatan atau
hukuman terutama untuk rakyat Aceh sendiri, tapi ada
pula yang merasa bahwa hal ini terjadi justru karena
Aceh membutuhkan sebuah kelahiran baru seperti itu
setelah apa yang tampak sebagai kebuntuan dalam
penyelesaian masalahnya yang terasa berlarut-larut dan
tanpa tanda-tanda penyelesaian.

Tulisan ini dibuat tentu saja tanpa pretensi
untuk memberikan solusi tuntas dan memuaskan terhadap
pertanyaan yang usianya sudah setua peradaban manusia
ini. Kalau pun ada kontribusinya, maka hal itu akan
terletak pada upayanya dalam memaparkan – atau, malah,
hanya meringkaskan – solusi-solusi yang pernah
ditawarkan terhadap persoalan ini. Dan, bukannya
teologis, pendekatan yang dipakai oleh tulisan ini
bersifat nyaris sepenuhnya filosofis. Maka, jika
setelah membaca tulisan ini orang menjadi faham bahwa
persoalannya sama sekali tak sederhana -- dan, karena
itu, tak gegabah dalam menarik kesimpulan-kesimpulan
atas persoalan terdalam hakikat kehidupan manusia di
bumi ini -- maka saya menganggap tujuan penulisannya
sudah tercapai.

Dirumuskan secara logis-diskursif, masalah
keadilan Tuhan ini akan mengambil bentuk silogisme
sebagai berikut :
1. Tuhan ada
2. Tuhan adalah baik
3. Tuhan adalah mahakuasa
4. Tuhan adalah mahatahu
5. Dunia mengandung kejahatan atau keburukan

Berdasar premis-premis di atas orang merasa dapat
menyimpulkan secara logis adanya inkonsistensi.
Bagaimana mungkin Tuhan yang baik, serta maha kuasa
dan maha tahu, menciptakan atau membiarkan kejahatan
atau keburukan di dunia?

Menurut John L. Mackie (“Evil and Omnipotence”,
dalam Nelson Pike (ed.), Good and Evil, Prentice Hall,
Englewoods Cliff, New Jersey, 1964) solusi yang
ditawarkan terhadap apa yang dilihat sebagai
inkonsistensi logis di atas bisa dibagi dalam dua
kategori utama: kategori yang menolak setidak-tidaknya
salah satu premis di atas, dan kategori kedua yang
mempertahankan semua premis tersebut. Mackie
menganggap kategori pertama mencakup solusi yang
“mencukupi” dan kategori kedua mencakup solusi yang
“rancu”. Marilah sekarang kita uraikan sedikit lebih
lanjut dua kategori tersebut.

Kategori Pertama
Contoh penting dari kategori pertama adalah
argumen bahwa kekuasaan Tuhan tidak absolut. Misalnya,
Tuhan atau Demiurgos (Sang Tukang Pencipta Alam
Semesta) yang dinyatakan Plato di dalam Timaeus,
tidak dapat menjalankan kekuasaan tanpa batas, karena
di dunia ada dua asas: materi dan forma (“bentuk”,
sifat-sifat yang menjadikan materi memiliki
sifat-sifat tertentu yang menjadikannya sesuatu benda
tertentu). Demiurgos tidak mampu menjadikan materi
bentuk apa saja yang Ia maui; Ia sama sekali tidak
dapat mempengaruhi bentuk (forma). Maka, Tuhan-nya
Plato tidak dapat disalahkan akibat tidak menjadikan
kursi, meja, singa, dan seterusnya sebagai benda-benda
yang sempurna; hal ini dikarenakan, materi yang
menjadi sumber penciptaan dan ketidaksempurnaan semua
benda merintangi kehendak dan tindakan Tuhan. Ini
tidak berarti mengatakan bahwa Demiurgos bebas dari
tanggung jawab atau kesalahan atas segala kejahatan
yang telah atau akan terjadi di dunia. Karena Dia
sesungguhnya dapat mencegah beberapa tindakan yang
menyebabkan kejahatan dan Dia memiliki kuasa untuk
melakukan atau tidak melakukan hal itu. Bagaimanapun,
penolakan Plato terhadap kekuasaan absolut Demiurgos
menghapuskan masalah kejahatan sebagai sebuah
kontradiksi, karena kehadiran setidak-tidaknya suatu
kejahatan, yakni ketidaksempurnaan benda-benda
material, adalah sesuatu yang tidak dapat dikontrol
oleh Demiurgos yang baik.

Pandangan kedua, yang menegaskan secara konsisten
bahwa Tuhan itu baik dan kejahatan itu ada, berasal
dari kaum Manikhean. (Mungkin juga dari agama Hindu).
Menurut pandangan ini, Tuhan, yang diidentikkan dengan
kebaikan, tidak memiliki kuasa selain atas benda-benda
yang baik. Benda-benda yang jahat diciptakan oleh
“oknum” Tuhan yang lain, yakni Tuhan kejahatan. Di
sini masalah kejahatan tidak muncul, karena entah kita
membicarakan Tuhan kebaikan atau Tuhan kejahatan,
kontradiksi mudah dihindari. Tuhan kebaikan tidak
memiliki kuasa selain atas benda-benda baik; karenanya
kejahatan muncul bukan karena kehendak Tuhan. Sedang
Tuhan kejahatan, Dia bukan hanya Tuhan yang terbatas
kuasanya, karena Ia memiliki kuasa hanya atas
benda-benda yang jahat, Ia pun memang bukan Tuhan
kebaikan – bahkan, sebenarnya, Ia memang memiliki
pembawaan sifat jahat. Penciptaan-Nya atas kejahatan,
tidak hanya tidak bertentangan dengan Sifat-Nya
melainkan justru konsekuensi sifat-Nya.

Tipe solusi kedua dimasukkan ke dalam kategori
pertama; karena, bukannya menghapuskan satu atau lebih
sifat Tuhan, ia justru menghapuskan kejahatan. Salah
satu solusi yang masuk ke dalam kelompok ini
menganggap kejahatan sebagai sebuah ilusi, sedang
solusi yang lain menganggapnya sebagai ketiadaan
kebaikan. Beberapa sekte Hindu seperti Madyamika,
misalnya, percaya bahwa seluruh dunia fenomena dengan
segala sesuatu yang muncul di dalamnya – benda-benda
yang hidup atau mati, baik atau jahat – hanyalah
sebuah ilusi. Dunia ini dimanifestasikan pada kita
sebagai real karena pemahaman pikiran kita dibatasi
sebagai akibat dari keterpisahannya dengan pikiran
absolut atau makrokosmis. Jika kita dapat menghindari
diri kita dari keterbatasan pikiran dan melihat benda
sebagaimana tampak pada pikiran makrokosmik, semua
yang kita alami tentang benda-benda fenomena, termasuk
penderitaan dan kebahagiaan, kejahatan dan kebaikan,
akan menghilang; yang tersisa adalah sebuah visi
tentang keseluruhan, yang tidak mencerminkan pembedaan
di antara benda, nilai, atau segala hal yang lain.
Apakah pandangan semacam itu masuk akal, merupakan
persoalan di luar cakupan tulisan ini. Yang menjadi
perhatian kita di sini adalah fakta bahwa ajaran
dasarnya tidak mengalami inkonsistensi yang
ditimbulkan akibat adanya (konsep tentang) kejahatan –
setidak-tidaknya ketika ajaran ini diuraikan dalam
bentuknya yang eksplisit – karena sesungguhnya
kejahatan tidak memiliki eksistensi real di dunia.

Mengenai pandangan yang mereduksi kejahatan menjadi
tiadanya kebaikan, seperti juga pandangan yang
menganggap kejahatan sebagai sebuah ilusi, ia mencoba
memecahkan masalah dengan menghapuskan kejahatan
sebagai sebuah realitas positif. Contohnya, ketunarunguan, kebutaan, sakit, kebodohan dan kelemahan adalah ketiadaan pendengaran, penglihatan,
kesehatan, pengetahuan, dan kemampuan. Karena merupakan ketiadaan (nonexistence, nonbeing, nothingness), maka kejahatan atau keburukan tak
membutuhkan sumber atau pencipta, karena penciptaan
hanya berhubungan dengan keberadaan (existence, being).

Persoalannya adalah, kenapa alam ini tidak
diciptakan dengan cara sedemikian, sehingga keberadaan
bisa menggantikan ketiadaan? Jawaban terhadap
persoalan ini bisa diperoleh dengan memfokuskan
perhatian pada karakteristik-karakteristik dunia
natural. Aksi-aksi dan reaksi-reaksi yang bersifat
resiprokal dari maujud-maujud material,
perubahan-perubahan, penggantian-penggantian, konflik,
dan interferensi adalah karakteristik-karakteristik
esensial dari dunia material. Jika
karakteristik-karakteristik ini tidak ada maka dunia
material ini juga tidak ada. Dengan kata lain, sistem
kausal spesifik dunia material adalah suatu sistem
esensial yang dibutuhkan oleh sifat dasar
maujud-maujud material. Oleh karena itu, dunia
material haruslah, atau terwujud dengan sistem ini
atau ia tak akan terwujud sama sekali. Di sisi lain,
kemunculan sebuah fenomena baru tergantung kepada
kemusnahan (atau pemusnahan) fenomena yang lama (yang
ada sebelumnya). Demikian pula, ketahanan hidup suatu
maujud hidup tergantung kepada pengonsumsian – dan,
karena itu, pemusnahan – maujud-maujud hidup lainnya.

Misalnya, ketahanan hidup manusia tergantung pada
pengonsumsian hasil-hasil tanaman atau hewan-hewan
tertentu. Argumentasi terakhir ini antara lain
diajukan dalam (filsafat) Hikmah yang bersumber dari
aliran Akbarian (aliran yang mendasarkan pada
pemikiran Syaikh al-Akbar Ibn ‘Arabi).

Kategori Kedua
Dalam kategori kedua yang di dalamnya semua
premis dipertahankan, kita menemukan empat tipe
solusi, yang didasarkan atas empat penafsiran mengenai
kejahatan.

Kesatu, kejahatan adalah efek (akibat) yang
diperlukan dari kebaikan. Beberapa kebaikan tidak
mungkin ada tanpa suatu kejahatan yang secara absolut
berasal darinya. Api, misalnya, adalah baik – ia
digunakan untuk memasak, menghangatkan, dan untuk
banyak tujuan kebaikan yang lain – tetapi ia tidak
dapat ada sebagai api tanpa pada saat yang sama juga
memiliki kuasa untuk membakar sesuatu yang berharga
dalam keadaan tertentu. Maka, kejahatan adalah akibat
yang tak terhindarkan dari adanya beberapa kebaikan;
menghapuskannya berarti pada saat yang sama
menghapuskan sebabnya, yang pada kenyataannya
merupakan kebaikan -- yang nilai-positifnya melebihi
nilai negatif kejahatan. Bertentangan dengan solusi
yang diuraikan dalam kategori pertama, tipe solusi
ini, bersama dengan tiga solusi berikutnya, tidak
menolak komponen dasar dari ajaran teistik. Semua
sifat Tuhan dipertahankan, dan tetap dianggap absolut;
kejahatan juga diakui sebagai sebuah fakta di dunia.

Yang diupayakan adalah pembenaran terhadap Tuhan yang
menyebabkan atau mengizinkan kejahatan.
Kedua, kejahatan adalah sarana yang diperlukan untuk
kebaikan. Menurut pandangan ini, kejahatan selalu
terjadi agar dapat membawa sesuatu yang lebih baik
daripada apa yang telah ada. Menampar anak kecil,
misalnya, adalah kejahatan, tetapi ini berguna untuk
mendisiplinkan anak. Gempa bumi, banjir, kebakaran,
dan bencana lain adalah juga kejahatan, namun semua
itu memiliki pengaruh yang baik, seperti menurunkan
populasi, mengajarkan pada mereka yang masih hidup
mengenai bagaimana menghadapi penderitaan dan
kesulitan, dan mungkin menimbulkan peristiwa-peristiwa
yang baik dalam hubungannya dengan alam semesta secara
keseluruhan – kebaikan yang menurut keterbatasan
pandangan kita tidak (atau mungkin tidak dapat) kita
pahami sebagai kebaikan. Dengan klaim semacam itu,
tipe solusi ini disebut sebagai “pembelaan bagi
kebaikan yang lebih tinggi.”

Nelson Pike ( “Good and Evil”, Ibid) adalah salah satu
pendukung terkenal abad keduapuluh terhadap “pembelaan
atas kebaikan yang lebih tinggi”. Pike menyatakan
bahwa solusi ini tidak berasal “dari klaim bahwa
sebuah wujud yang sangat baik akan mencegah
penderitaan, jika ia dapat.” Pike berargumen bahwa
sesuatu bisa baik meski pada saat yang sama
menimbulkan kejahatan, tetapi sesuatu itu harus
“memiliki alasan moral yang kuat” untuk melakukan
demikian:

Misalnya, seorang ayah yang memberi anaknya sesendok
obat pahit tidak boleh disalahkan, karena ia melakukan
demikian agar dapat mengobati anaknya dari penyakit.
Meminum obat adalah pengalaman yang tidak menyenangkan
bagi seorang anak, dan karena itu merupakan suatu
jenis keburukan, tetapi hal ini merupakan sarana untuk
kebaikan yang lebih tinggi – yakni, untuk memulihkan
kesehatan anak. Maka, seorang ayah, meskipun
bertanggung jawab dalam hal memberi obat pada anaknya,
terbebas dari kesalahan yang menimbulkan kejahatan: ia
memiliki “alasan moral yang kuat.” Pike berpendapat
bahwa argumen yang sama dapat diterapkan pada Tuhan.

Tuhan, yang memiliki pengetahuan tentang penderitaan
yang dialami oleh makhluk-makhluk tertentu ketika
ditimpa penyakit, penderitaan, dan seterusnya, dan
memiliki kuasa untuk mencegah penderitaan semacam itu,
masih tetap tidak mencegahnya. Namun Tuhan tidak bisa
dituduh jahat, karena alasan melakukan itu secara
moral adalah kuat: Tuhan yang menyebabkan atau tidak
mencegah kejahatan memiliki tujuan untuk menghasilkan
kebaikan yang lebih tinggi, untuk individu yang
ditimpa kejahatan atau untuk alam semesta secara
keseluruhan. Dengan kata lain, Jika Tuhan mencegah
menghasilkan beberapa kejahatan, maka sama saja Dia
mencegah menghasilkan beberapa kebaikan yang lebih
tinggi.

Tetapi, bagi sebagian orang, analogi antara manusia
dan Tuhan ini dapat menimbulkan pertanyaan lebih
lanjut. Memang sulit bagi seorang ayah, dengan
keterbatasan manusiawinya, mengobati anaknya dari
penyakti tanpa memberinya obat yang pahit. Tetapi
Tuhan dianggap memiliki kekuasaan yang absolut, dan
karena itu pasti dapat menghasilkan kebaikan tanpa
harus memakai sarana kejahatan. (Dengan kata lain,
untuk dapat diterima, harus dicatat bahwa pembelaan
ini dan pembelaan sebelumnya, secara implisit
sebenarnya membatasi kekuasaan Tuhan, meskipun
keduanya mengklaim mempertahankan semua premis dasar
yang kita catatkan di awal tulisan ini).

Perlu saya tambahkan, pada tahap ini, bahwa keberatan atau
pertanyaan ini sesungguhnya mengandung
inkonsistensi logis. Yang diupayakan adalah
penjelasan-penjelasan (manusiawi yang bersifat)
rasional terhadap isu keadilan Tuhan. Dengan kata
lain, sejalan dengan hukum-hukum yang berlaku di dalam
domain kehidupan manusia. Maka, kaidah-kaidah yang
harus dipakai untuk menyampaikan keberatan
terhadapnya harus juga menggunakan kaidah-kaidah yang
dipakai dalam argumentasi yang dipertanyakan itu.

Melompat kepada ukuran-ukuran yang tak rasional secara
manusiawi, semisal mengharap Tuhan memberi obat yang
tidak pahit, adalah sebuah kerancuan logis. Dengan
kata lain, kalau sejak awal Tuhan memang diasumsikan
dapat melakukan hal-hal yang berada di luar
kaidah-kaidah (rasional) pemikiran manusia, maka semua
pertanyaan soal keadilan tuhan ini sudah tak relevan
sejakawalnya. Yakni, bahwa Tuhan bisa saja dianggap
adil meski menciptakan atau membiarkan kejahatan dan
keburukan terjadi di dunia ini, hanya kita saja yang
tak mampu memahami.

Ketiga, kejahatan menambah keragaman di dunia dan
karena itu membuat dunia kita menjadi dunia terbaik
dari dunia-dunia yang mungkin (diciptakan) (the best
of all possible worlds). Menurut pandangan ini,
kejahatan dibenarkan bukan karena klaim bahwa ia tak
terhindarkan agar dapat memunculkan beberapa kebaikan
yang penting, tetapi karena klaim bahwa ia memiliki
nilai positifnya sendiri. Jika kejahatan dihilangkan
maka kita akan mendapati kurangya keragaman
(sebagaimana dikatakan oleh Leibniz) atau kurangnya
kemungkinan yang bisa diwujudkan (sebagaimana
dikatakan oleh Ibn Sina) dibandingkan seharusnya –
dengan kata lain, kebaikan yang bisa kurang daripada
yang seharusnya atau dibandingkan yang telah kita
miliki. Idenya adalah, semakin banyak keragaman dan
semakin terpenuhinya kemungkinan, adalah lebih baik,
dengan syarat bahwa keragaman dan kemungkinan yang
terpenuhi itu diintegrasikan dengan kesatuan dan
keteraturan. Hadirnya kejahatan memberi dunia kita
jumlah keragaman yang lebih besar dibandingkan jika
tidak ada; karenanya, dunia ini akan lebih baik bila
ada kejahatan dan akan lebih baik dari dunia apapun
yang kurang memiliki campuran antara kebaikan dan
kejahatan.

Keempat, kejahatan bukanlah tindakan Tuhan atau
produk dari tindakan Tuhan, melainkan produk dari
kebebasan kehendak manusia. Ini adalah pembelaan yang
dipergunakan untuk membebaskan Tuhan dari tanggung
jawab atas kejahatan moral, bukan kejahatan metafisis.
Jika manusialah yang, karena kebebasan mereka,
menimbulkan kejahatan moral, maka, ditegaskan bahwa
hadirnya kejahatan semacam itu tidaklah bertentangan
dengan kebaikan Tuhan. Tetapi harus dinyatakan pula
bahwa merujukkan kejahatan moral kepada kebebasan
kehendak manusia tidaklah dengan sendirinya menawarkan
solusi yang sempurna atas masalah kejahatan. Di
samping fakta bahwa solusi yang terpisah harus
disediakan untuk kejahatan fisik dan metafisik, harus
diuraikan pula dua hal penting berkenaan dengan
kebebasan manusia: alasan Tuhan menyebabkan atau
mengizinkan adanya kebebasan kehendak manusia, yang
mengetahui bahwa dengan adanya kebebasan kehendak itu,
kemungkinan kejahatan juga ada; dan apakah Tuhan dapat
membuat orang berbuat benar setiap saat meski dengan
fakta bahwa mereka itu bebas. Pembelaan yang
memberikan jawaban kepada dua hal tersebut sekarang
biasa disebut dengan “pembelaan atas kebebasan
kehendak”.

“Pembelaan atas kebebasan kehendak” mengklaim bahwa
sebuah dunia dengan makhluk yang memiliki kuasa untuk
apa yang baik dan apa yang buruk secara bebas, adalah
lebih baik daripada sebuah dunia yang di dalamnya
makhluk hanya melakukan apa yang benar, tetapi tidak
secara bebas. Ini adalah jawaban terhadap poin pertama
yang disinggung di atas, tetapi ia hanya salah satu
tesis dari “pembelaan atas kebebasan kehendak,” dan
bukan yang paling fundamental. Garis argumen yang
diambil untuk merespon poin kedua adalah garis argumen
yang berada pada pusat perdebatan yang hangat dalam
pemikiran kontemporer. Menurut argumen ini, Tuhan
tidak dapat memberi kebebasan pada makhluk dan pada
saat yang sama menjamin bahwa makhluk ini akan selalu
melakukan apa yang benar secara bebas.

Tesis yang kedua ini membutuhkan tesis yang pertama
agar pembelaan itu bisa sempurna. Jika Tuhan tidak
dapat memberi kebebasan pada orang dan pada saat yang
sama membuat mereka selalu dan dengan bebas
menjalankan perbuatan yang benar, mengapa Tuhan tidak
menahan kebebasan mereka agar mereka dapat
menghindari keberadaan atau kemungkinan kejahatan
moral? Pembela atas kebebasan kehendak siap menyatakan
bahwa kebebasan adalah lebih baik daripada
tanpa-kebebasan, dan bahwa sebuah dunia dengan
kebebasan semacam itu adalah lebih diinginkan dan
lebih baik daripada sebuah dunia tanpa kebebasan.

Dengan kata lain, “pembelaan atas kebaikan yang lebih
tinggi” adalah langkah pertama yang harus diambil di
dalam “pembelaan atas kebebasan kehendak”. Ketika
langkah itu diambil, maka pembela atas kebebasan
kehendak harus menegaskan ketidaksesuaian antara
premis “Orang adalah bebas” dan premis “Tuhan dapat
menentukan orang selalu berbuat benar secara bebas.”

Ketidaksesuaian semacam itu dipertahankan dengan kuat
oleh orang-orang seperti John Hick dan Alvin
Plantinga. Tetapi ketidaksesuaian tersebut, sebagai
inti dari “pembelaan atas kebebasan kehendak”, juga
memiliki lawan yang tangguh, seperti John Mackie,
Antony Flew, dan Dewey Hoitenga.

Maka, pembela kebebasan kehendak berusaha memecahkan
persoalan kejahatan dengan mengingkari kemahakuasaan
Tuhan. Setelah memberi manusia kebebasan kehendak,
Tuhan tidak dapat membimbing perbuatan mereka; jika
Tuhan melakukan ini, mereka tidak akan bebas. Dengan
kata lain, kebebasan manusia memberi batasan pada
kekuasaan Tuhan.

Kesimpulannya, solusi utama terhadap masalah kejahatan
dapat dibagi menjadi dua tipe:

Kategori Pertama, tipe solusi yang menolak
setidak-tidaknya salah satu premis yang dicantumkan
pada awal tulisan ini. Contoh-contoh dari tipe solusi
ini adalah (a) solusi yang menghapuskan satu atau
lebih sifat Tuhan, seperti sifat kuasa; dan (b) solusi
yang menghapuskan konsep tentang kejahatan.

Kategori Kedua, tipe solusi yang tidak secara
eksplisit menolak semua premis. Contoh-contoh dari
tipe ini adalah bahwa (a) kejahatan pasti berasal dari
kebaikan; (b) kebaikan membutuhkan kejahatan sebagai
sarananya; (c) kejahatan menambah keragaman atau
pemenuhan berbagai kemungkinan di dunia, dan ini
adalah sesuatu yang baik; dan (d) kejahatan moral
disebabkan oleh kebebasan kehendak manusia, bukan
Tuhan.

Dan diskusi, malah perdebatan sengit, mengenai masalah ini pasti tak akan berhenti di sini. Hampir dipastikan ia akan tetap tinggal sebagai persoalan yang kontroversial, setelah puluhan abad dalam keadaan demikian. Barangkali Tuhan, bagi yang percaya kepada
keberadaan dan keadilannya, memang menyisakan isu ini sebagai satu di antara berbagai misterinya dan, dengan demikian, membiarkannya tetap tinggal sebagai misteri.

Sebuah misteri, yang kalau pun bisa dipecahkan, harus diselesaikan dengan cara lain. Lewat sebuah pengalaman, sebuah perjumpaan, sebuah pencerahan spiritual, ketimbang penjelasan rasional, apalagi filosofis. Barangkali.

*) Haidar Bagir adalah Dirut Penerbit Mizan dan Doktor di bidang Filsafat.

Kompas - Bentara
----------------------------------------------------------

Friday, April 16, 2004

Memang sudah lama aku tidak naik kereta api...

...Pada sore hari itu kereta api tujuan Bogor-Jakarta kota tidak terlalu ramai. Saat itu memang belum waktunya orang pulang kerja. Lagipula tujuanku memang melawan arus. Di sore hari biasanya kereta api yang penuh adalah kereta api yang mengarah ke Bogor. Sedangkan keretaku mengarah ke stasiun Kota.

Banyak bangku yang kosong, tapi aku malas duduk. Biarkan saja orang yang lain yang duduk. Toh tidak lama lagi aku tiba di stasiun Mangga Besar, stasiun tujuanku. Sambil berdiri di dalam kereta api, pikiranku melayang memikirkan kondisi hidupku sekarang ini.

Hari-hari terakhir kuliah program magister manajemenku sudah habis. Yang perlu aku lakukan sekarang hanyalah untuk sesegera mungkin mendapatkan topik pembahasan thesis. Tak sabar rasanya untuk secepat mungkin lulus. Otakku sudah hampir 'habis' dipakai untuk belajar mata kuliah manajemen dan keuangan selama lebih dari 1 tahun.

Hari itu merupakan hari terakhir aku bertemu dengan beberapa rekan kampusku. Mereka pulang duluan sebelum aku. Sambil berjalan keluar aku memeriksa dompetku, apakah uang yang ada cukup buat naik taksi.

Dasar memang lagi apes.

Duitku tinggal 2 ribu rupiah. Seharusnya bisa aku pulang naik taksi dan membayar waktu tiba di rumah, tetapi aku pikir mungkin sesekali aku bisa berhemat dengan pulang naik kereta. Segera aku berjalan kaki keluar kampusku menuju ke stasiun Gondangdia yang letaknya tidak jauh dari kampusku.

Tersadar dari lamunanku, aku memeriksa tiket yang ada di kantong celanaku. Pemeriksaan tiket semakin ketat, berbeda dengan ketika aku masih kuliah di Depok. Dahulu petugas-petugas terkadang malas untuk memeriksa tiket para penumpang yang baru turun. Akupun dulu terkadang malas menyerahkan tiket, toh aku sudah mengeluarkan uang untuk membeli tiket tersebut. Harganyapun murah: tiket Depok-Mangga Besar hanya enam ratus rupiah saja. Walau demikian, masih ada juga orang yang tidak membeli tiket. Yah, pengamanannya kurang ketat. Mungkin pikir mereka buat apa beli tiket, toh tidak diperiksa. Kalaupun iya, itupun juga jarang terjadi. Yah, mungkin itu pikir mereka.

Itu dulu. Lain sekarang. Dari Gondangdia ke Mangga Besar saja harga tiketnya sudah seribu rupiah. Sudah pasti akan lebih mahal dari Depok ke Mangga Besar. Dan sekarang para petugas sangat ketat dalam memeriksa tiket para penumpang.

Tiketku masih ada. Amanlah aku.

Banyak yang mengatakan kalau naik kereta tidak aman. Beberapa temanku pernah menjadi korban pencurian di kereta api. Dompet dan telepon genggamku sudah kusimpan di tas ransel yang hari itu kubawa. Aku selalu melakukan hal ini setiap kali naik kereta. Sekali kejadian aku tidak membawa tas ransel sehingga dompet dan telepon genggam aku taruh di kantong celanaku. Hampir saja raib telepon genggamku. Tapi itu cerita lama dan untung saja waktu itu aku waspada.

Barang yang aku bawa naik kereta api dulu sewaktu kuliah lebih banyak dan lebih berat daripada yang kubawa sekarang ini. Aku pergi ke Depok setiap awal minggu membawa dua buah tas besar yang isinya pakaian dan perlengkapan kuliahku. Pada akhir minggu aku pun membawa kedua buah tas tersebut, tapi kali ini berisi pakaian kotor untuk dicuci di rumah. Aku tidak mau membiarkan pakaianku dicuci oleh orang-orang kost. Ingin tertawa rasanya mengingat masa lalu, waktu itu setiap akhir minggu aku serasa pulang kampung menggotong-gotong 2 tas yang besar.

Kereta api mulai mengurangi kecepatannya. Kembali lagi aku tersadar dari lamunanku. Kereta terkadang berhenti ketika mendekati stasiun Gambir, memberikan jalan bagi kereta-kereta yang hendak menuju ke luar kota. Dan tampaknya kali ini kereta yang kutumpangi juga demikian. Aku menuju ke pintu kereta yang selalu terbuka lebar, mengintip ke arah depan sambil berharap agar kereta segera berjalan kembali. Mobil-mobil di bawah jalur kereta sibuk berlalu-lalang, pengemudinya tertelan kesibukan sehari-hari. Matahari yang semakin condong ke barat menunjukkan sore akan segera menjelang.

Penjaja berbagai macam makanan, minuman dan barang berlalu lalang di dalam gerbongku. Banyak macam barang yang dijual di dalam kereta api, dari bolpen sampai buku resep makanan. Dengan harga miring pula. Aku sendiri terkadang suka membeli barang jajaan yang dijual di kereta. Ada beberapa kali aku membeli permen jahe yang biasanya suka dijajakan oleh ibu-ibu tua. Sesekali waktu aku membeli minum untuk memuaskan dahaga oleh karena panjangnya perjalan dari Depok ke Mangga Besar (yang biasanya memakan waktu antara empat puluh lima menit hingga satu setengah jam). Ada seorang temanku yang sesekali waktu membeli bolpen di kereta, aku lupa apakah karena ia lupa membawa atau kehilangan bolpen miliknya.

Banyak pula pengamen dan pengemis di dalam kereta. Begitu seringnya aku naik kereta sewaktu kuliah hampir aku hafal semua pengamen, pengemis, dan pemohon dana untuk pembangunan bangunan ibadah. Waktu itu aku sampai hafal RT, RW, kelurahan, kecamatan, kabupaten lokasi dari sebuah masjid yang panitia pembangunannya dengan gigihnya meminta bantuan dana dari para penumpang kereta. Sampai suatu saat mereka tidak pernah kelihatan lagi. Semoga mereka sukses membangun rumah ibadat yang mereka impikan.

Aku sering merelakan uang recehku kepada para pengamen, apalagi kalau nyanyian mereka bagus dan bukan sekedar teriakan tak bernada. Ada sekali waktu sekelompok pengamen bernyanyi dengan sangat bagus. Mereka menggunakan biola, gitar, dan gentong aqua galonan sebagai instrumen mereka. Lead singers-nya adalah 2 orang gadis. Suara mereka sangat bagus. Kalau dilihat dari gelagatnya mereka mengamen untuk mengumpulkan dana untuk kegiatan keagamaan. Aku lima ribu rupiah lebih miskin hari itu.

Memang banyak macam orang yang bisa ditemui waktu naik kereta api Jakarta-Bogor.

Tak lama kereta berjalan kembali. Semakin dekat aku ke stasiun tujuanku, Mangga Besar. Sekali lagi aku mendekatkan diri ke pintu kereta. Dengan satu tangan memegang railing yang ada di atas pintu, aku sedikit mencondongkan kepalaku keluar pintu kereta. Aku senang merasakan angin menerpa wajah dan rambutku. Ada sedikit ketenangan kudapatkan di bisikan angin.

Tentu saja aku berhati-hati melakukan ini, aku tak mau terjatuh dari kereta ke aspal yang jauhnya 15 meter (mungkin lebih) di bawah. Pengalaman pertamaku naik kereta diwarnai dengan masalah 'jatuh'. Waktu itu aku dalam perjalan pulang dari kegiatan bakti sosial yang diadakan kampusku. Aku dan teman-teman kampusku waktu salah 'memposisikan' diri di dalam kereta yang sedang penuh dengan penumpang. Setibanya di stasiun Depok kita tidak cukup cepat menuju ke pintu sehingga setibanya di mulut pintu kereta sudah melaju agak cepat. Akhirnya aku melompat dan jatuh terduduk di peron stasiun. Tak lama setelah itu, seorang temanku yang terakhir turun dari kereta setelah aku juga jatuh terduduk di peron dengan posisi yang sama persis seperti aku. Teman-temanku yang lain tertawa. Untung kita tidak terluka sedikit pun, hanya sedikit malu. Yah, tak apalah menghibur teman-teman sesekali.

Tibalah di stasiun Mangga Besar. Segera aku menapakkan kaki di peron ketika laju kereta sudah cukup pelan. Aku memutuskan untuk jalan kaki ke rumah. Toh jarak stasiun ke rumahku hanya kurang lebih 1 km (aku juga sudah apes hari itu). Mungkin karena sudah lama tidak menyiksa tubuh dengan olah raga rutin setibanya aku di rumah peluh membasahi tubuh. Matahari sore tampaknya juga masih bersemangat memancarkan panas yang cukup sehingga pengap rasanya.

Pulas diriku tertidur tak lama setelah aku mandi. Aku tidak mimpi kereta api waktu itu. Andaikan iya...

(NB: ibuku bilang sewaktu aku kecil aku suka sekali kereta api sehingga ia pernah membuat sebuah kue ulang tahun besar dengan hiasan kereta api di atasnya).

Tulisan ini didedikasikan bagi mereka yang pernah merasakan suka dukanya naik kereta api Jakarta-Bogor. Semoga lebih banyak suka daripada dukanya.